Oleh Muhammad Irfan Redha
MARI belajar dari Negara
tetangga kita, Malaysia. Mereka sengaja berguru ke Indonesia untuk
memperbaiki kualitas guru mereka, namun sekarang marilah kita lihat
bagaimana majunya Negara tetangga kita itu? Mari kita belajar lagi dari
Jepang. Saat Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur oleh bom atom yang
dijatuhkan AS dan sekutunya pada 1945, yang ditanya oleh sang Kaisar,
bukan jumlah pejabat, maupun jumlah harta yang masih bisa diselamatkan.
Tetapi, berapa jumlah guru yang masih hidup. Pertanyaan yang konyol bisa
kita katakan. Tetapi dengan kuantitas guru dengan kualitas yang ia
miliki dapat kembali membangun Negara tersebut.
Kini, marilah
kita lihat keadaan daerah kita yang kita cintai ini. Kualitas guru yang
berada di Aceh berada di peringkat 28 dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia. Hal ini merupakan prestasi yang sangat buruk. Dengan kekayaan
alam yang berlimpah dan kesuburan tanah yang luar biasa, jika tidak
dikelola oleh orang yang mempunyai kapasitas ilmu yang memadai, maka
sumber kekayaan alam yang ada di Aceh ini akan menjadi lahan bagi orang
lain.
Dalam hal ini tidak sepenuhnya kita menyalahkan guru,
namun banyak faktor yang menyebabkan kualitas lulusan di Aceh masih
sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain. Di antaranya adalah
faktor minat baca masyarakat yang masih tergolong rendah. “Potensi
bangsa Indonesia sangat tinggi secara kuantitas. Namun, fakta
membuktikan bahwa kondisi minat baca di Indonesia berdasarkan temuan
UNDP tahun 2010, Human Development Indeks, masih sangat rendah, berada
di peringkat 112 dari 175 negara” (Andy F. Noya, Duta Baca 2011/Host
acara Kick Andy di Metro TV).
Menurut data yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, menunjukkan bahwa masyarakat lebih
banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau
mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%).
Sangat memprihatinkan
Apa
yang menyebabkan minat membaca masyarakat Indonesia menurun selama
berpuluh-puluh tahun? Bisa saja disebabkan oleh keadaan ekonomi yang
belum memadai, sistem pendidikan yang berat namun tidak mengarah kepada
kebiasaan membaca, dan yang sangat memprihatinkan adalah banyaknya
tempat-tempat hiburan yang bisa mengalihkan perhatian orang untuk
bermain dari pada membaca. Membaca dianggap suatu hal yang memberatkan,
padahal membaca buku sama saja kita membuka jendela dunia.
Terdapat
empat poin penting sumber permasalahan minat baca, yaitu sistem
pendidikan, budaya masyarakat, ketersediaan buku, dan daya beli yang
rendah. Keempat poin ini mengacu pada satu persoalan, yaitu
perpustakaan. Dengan adanya perpustakaan, bagi masyarakat yang
berekonomi rendah, tak perlu membeli buku dengan harga yang mahal, cukup
meminjamnya dari perpustakaan secara gratis mereka dapat membaca dengan
nyaman. Jadi peran perpustakaan sangat bermanfaat sekali dalam
menggerakkan siswa-siswi dan masyarakat untuk menciptakan masyarakat
yang gemar membaca.
Dua kata kunci, perpustakaan dan anak-anak.
Yang kita gabungkan menjadi perpustakaan yang ramah terhadap anak. Suatu
investasi jangka panjang yang diciptakan untuk merubah masyarakat
menjadi gemar membaca. Sebenarnya anak-anak dibangsa ini haus akan buku
bacaan. Mereka sangat antusias dengan adanya perpustakaan keliling yang
ada di daerah. Namun bagaimana dengan perpustakaan daerah maupun
perpustakaan wilayah.
Semua itu hanya ditujukan kepada pelayanan
umum dan tak sedikitpun menjadikan anak-anak sebagai prioritas utama.
Kebiasaan anak-anak yang membaca dengan diucapkan secara langsung
dijadikan sebagai pengganggu konsentrasi pengguna perpustakaan umum
tersebut. Kita lihat saja Perpustakaan Wilayah di Lamnyong, Banda Aceh.
Jika kita perhatikan secara seksama, anak-anak yang membaca di sana
sangatlah sedikit, dikarenakan hanya mengganggu para pembaca yang lain.
Padahal anak-anak sangat menginginkan membaca di tempat tersebut.
Dunia
anak sangat identik dengan dunia bermain. Maka perlu adanya
perpustakaan yang ramah terhadap anak-anak. Agar aktivitas membaca
mereka tidak terganggu. Kita bisa belajar dari perpustakaan yang ramah
anak yaitu Perpustakaan Anak Salman (PAS) di Bandung, Jawa Barat. selain
tersedianya buku anak-anak di sana disediakan pula perlengkapan
multimedia anak-anak. Dengan warna interior ruangan yang bernuansa
cerah, dan berwarna-warni sehingga membuat anak-anak nyaman berada
diruangan itu.
Di Surabaya, terdapat perpustakaan anak yang
merupakan cabang dari Perpustakaan Wilayah Provinsi Jawa Timur, yang
didirikan khusus untuk anak-anak, yang fasilitasnya meliputi ruang
koleksi, ruang baca, ruang bermain, ruang mendongeng, ruang audiovisual,
ruang komputer, konter sirkulasi, lobby dan fasilitas pendukung
lainnya. Konsep yang digunakan dalam perancangan adalah ‘taman bermain’.
Bagaimana Aceh?
Di
Aceh belum kita jumpai perpustakaan yang berbasis anak-anak. Dengan
alokasi anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan setiap
tahunnya, tentu bisa disisihkan sedikit untuk membangun perpustakaan
anak, di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Dengan adanya sarana
ini, diharapkan anak-anak akan gemar mengunjungi perpustakaan dan
menjadikannya sebagai tempat favorit mereka. Dari membaca mereka juga
akan terbiasa berdiskusi dengan teman tentang hal-hal yang terkait
bacaaan mereka. Dengan begitu, anak-anak akan merasa terbiasa dan nyaman
dengan suasana perpustakaan.
Tidak sekadar impian jika seluruh
kenyamanan tersebut dapat dipenuhi, anak-anak akan lebih suka berkunjung
ke perpustakaan daripada ke area permainan di Time Zone. Apalagi jika
perpustakaan dijadikan sebagai jadwal kunjungan hari libur, sehingga
anak-anak akan terbiasa melakukan studi literature. Menumbuhkan
kebiasaan lebih mudah dilakukan sejak anak-anak. Kebiasaan untuk
menjadikan buku sebagai gudang ilmu dan sumber informasi akan lebih
mudah ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Jika saat ini budaya
anak-anak membaca dilakukan, maka 5-10 tahun lagi target Indonesia
membaca akan tercapai.
Jika anak-anak sudah gemar membaca, maka
guru-guru yang berada di sekolah tidak lagi berkutat pada materi
pelajaran yang akan diajarkan. Namun akan lebih menekankan kepada
pendidikan karakter setiap anak atau siswa. Ilmu itu memang penting
tetapi yang terpenting ialah karakter yang dimiliki oleh setiap manusia
itu. Dan sebenarnya karakter itulah yang digoreskan oleh setiap guru.
Agar terciptanya rakyat indonesia yang makmur dan sentosa.