widget

Anda ingin membuat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini

This is default featured post 1 title

PERJALANAN KE ACEH TENGGARA MENYALURKAN SUMBANGAN UNTUK KORBAN BANJIR BANDANG.

This is default featured post 2 title

PESERTA DARI ACEH LK-II HmI Cab. BANDUNG BERTEMPAT DI KAMPUS UNISBA BANDUNG.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, May 16, 2013

Menakar RUU Kesetaraan Gender



Rancangan Undang Undang Kesetaraan Gender yang kini sedang dibahas di DPR RI menuai protes dari berbagai kalangan, khusunya dari kalangan Ilmuwan Islam. Hal ini disebabkan karena RUU Kesetaraan Gender dinilai telah menabrak ketentuan dalam Al-Qur’an dan hadis. Menurut kalangan yang “kontra” terhadap pengesahan RUU KG, bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadits yang selama berabad-abad sudah dipahami secara pasti dalam konsepsi Islamiah sebagai salah satu agama yang memandang suami dalam ikatan perkawinan adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, kini digugat dan dipaksa untuk berubah, mengikuti konsep keluarga dalam “tradisi Barat modern” yang meletakkan suami dan istri dalam posisi setara dalam segala hal.
Feminisme dan Gerakan “Kesetaraan Gender”
Sebelum lebih jauh melihat ada apa di balik RUU Kesetaraan Gender yang sementara di bahas oleh DPR RI, penulis mengajak pembaca menoleh ke belakang melihat sejarah lahirnya konsep kesetaraan gender. Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham sebenarnya  lahir dari  pemberontakan perempuan barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun,  barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa.  Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan  perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik  yang  pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Setelah itu, muncul feminisme gelombang kedua  dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik.  Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity),  sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya. (Arivia, 2002).
Pro-Kontra RUU Kesetaraan Gender
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya adalah, bahwa ajaran feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan  konsep dan pemikiran liberalisme dan sekularisme yang  telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban “barat”. Sebagaimana kaum feminis barat, kelompok yang menamakan diri “feminis muslim” juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat  didominasi ide “bias gender” dan bias nilai-nilai patriakal.
Terkait masalah di atas, hal inilah yang kemudian membuat para penggiat Islam menilai bahwa apa yang dilakukan DPR RI sekarang yang sedang merumuskan ketentuan mengenai ide dan konsep kesetaraan gender melalui RUU Kesetaraan Gender merupakan langkah salah yang meski disikapi. Menurut kalangan penggiat Islam, hal ini disebabkan karena dalam RUU KG ada beberapa ketentuan yang sudah secara terang-terangan melabrak ketentuan dan ajaran Islam. Beberapa ketentuan yang dimaksud antara lain:
  1. Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, bahwa:
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontroldalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”.
Ketentuan dalam pasal ini memandang adanya diskriminatif selama ini terhadap kaum perempuan yang membedakan posisinya dengan kaum laki-laki. Bentuk diskriminasi yang dimaksud antara lain terkait pakaian, larangan perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi suami istri, perkimpoian, perwalian, ketentuan waris dan lainnya sebagainya. Semua hal di atas dianggap diskriminatif dan tidak memberikan keadilan bagi kaum perempuan.
  1. Pasal 3 huruf (f) menyatakan:
“Penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus segala praktik yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotype bagi perempuan dan laki-laki”.
Menurtu Penggiat Islam, ketentuan ini melihat, bahwa peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin bagi wanita dan peran khas perempuan sebagai isteri, ibu dan pengatur rumah tangga adalah merupakan “pembakuan peran” atau dianggap tidak fleksibel sehingga harus dihapus.
  1. Dalam Pasal 8 huruf (b) RUU KG menyatakan, bahwa:
“setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan atas haknya sebagai korbandari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender
Bagi kalangan Penggita Islam, ketentuan ini telah berusaha “menggeser” peraturan yang bernuansa syariah seperti aturan mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang.
  1. Pasal 9 ayat (1) huruf (d) menyatakan:
”Kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil meliputi tetapi tidak terbatas pada hak jaminan sosial”.
Menyangkut hal ini, menurut para penggiat Islam, bahwa ketentuan ini, dengan penekanannya terhadap keadilan pada hak ekonomi perempuan, akan meniadakan perlunya izin suami/keluarga bagi perempuan untuk bekerja pada malam hari.
Akhirnya, Pro dan Kontra pun kini mewarnai pembahasan RUU Kesetaraan Gender yang sekarang sementara dibahas oleh DPR. Sebagai bagian yang “Kontra”, pihak yang merasakan adanya kejanggalan dalam ketentuan RUU KG, khususnya kelompok penggiat dan pemerhati Islam menilai banyak ketentuan dalam RUU KG yang tidak relevan dengan kondisi dan budaya bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa “beradab”. Ketidak relevanan RUU KG dengan kondisi bangsa menurut mereka yang “kontra” dikarenakan bahwa Ide RUU KG pada dasarnya mendorong perempuan bebas mengekspresikan diri termasuk dalam pemenuhan seksual. Keharmonisan keluarga terancam. Bangunan masyarakat juga bisa runtuh. Menurut mereka dalam catatan sejarah, saat ini di Inggris hanya 40% anak yang lahir dari pernikahan. Selain itu, Ide RUU ini juga berpotensi melahirkan ancaman masyarakat tua akibat pertumbuhan penduduk minus seperti yang terjadi di Eropa.
Ketakutan mereka yang “kontra” cukup beralasan. Sebab, menurut mereka jika apa yang terjadi di “barat” seperti yang dijelaskan di atas juga terjadi di Indonesia, maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan mengalami degradasi moral yang cukup “parah”. Meskipun untuk kondisi kekinian, bangsa ini memang dalam kondisi degradasi moral. Akan tetapi, nantinya dengan berlakunya UU Kesetaraan Gender akan memperparah kondisi moral bangsa ini. Oleh sebab itu, menurut mereka yang “konra” terhadap RUU ini menghimbau agar semua kalangan menolak ide gender sekaligus menolak RUU KG ini yang mengusungnya.
Sementara itu, dilain pihak, ada juga beberapa kelompok yang menyatakan “pro” terhadap RUU Kesetaraan Gender. Kelompok ini tergabung dalam pegiat kesetaraan gender, feminisme dan lesbianisme yang selama ini banyak menyuarakan ide kesetaraan gender dan mendukung penetapan RUU KG untuk ditetapkan menjadi UU. Selama ini, kelompok tersebut telah banyak mengemukakan tuntutan mereka akan keharusan adanya pengakuan kesetaraan gender oleh Negara.
Salah satu tuntutan kelompok ini adalah agar ide kesetaraan gender, khususnya dalam hal perkawinan mendapat legalitas di Indonesia. Mereka mendasarkan pemikiranya, bahwa dalam Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik saja secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual. Selanjutnya, menurut kelompok ini, bahwa di Barat saja telah diterapkan model “pernikahan sederajat” yang tidak mengakui adanya pemimpin maupun yang dipimpin  dalam rumah tangga. Karena itu, di sana tidak dijumpai konsep wali, sebagaimana dalam pernikahan yang terjadi di Indonesia menurut konsep Islam.
Mari Menentukan Sikap
Sebagai seorang pemerhati dibidang hukum, penulis mengajak kepada semua kalangan agar marilah kiranya melihat secara jelas apa yang ada dalam RUU KG, dan bagaimana sekiranya anggota DPR mengesahkan RUU ini?. Bukankah dengan munculnya RUU KG ini semakin memperjelas bahwa istilah “gender” tidak lagi bersifat netral. Gender hanya digunakan untuk perempuan dan “membela” kepentingan kalangan elitis perempuan. Gender bukanlah konsep keadilan yang ditegakkan terhadap laki-laki dan perempuan secara setara.
Kesetaraan gender hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan yang menimpa perempuan. Maka, tidak mengherankan dengan di gulirkannya RUU KG ini, nuansa seksisme dalam perundang-undangan di Indonesia semakin menguat. Parahnya lagi, isu ini seolah detenggelamkan oleh isu-isu lain, seperti isu kenaikan BBM, korupsi, keamana dan sebagainya. Padahal isu ini, jauh lebih membahyakan kehidupan “moral” bangsa kedepannya. Kini kita hanya bisa berharap, para anggota dewan yang terhormat, apalagi yang Muslim agar kiranya tida akan mengesahkan segala bentuk Undang-Undang yang tidak berpihak pada pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Sebab, kata Iwan Fals, “Saudara dipilih bukan dilotre”.

Menelisik Keutamaan Wudhu'



Salah satu kewajiban umat Islam dalam beribadah adalah berwudhu. Wudhu merupakan bukti keimanan yang tak terlihat secara kasat mata. Mirip dengan orang yang berpuasa. Tak ada orang yang menjaga wudhunya kecuali karena alasan keimanan.

Secara syar'i, wudhu ditujukan untuk menghilangkan hadas kecil agar kita sah menjalankan ibadah, khususnya shalat. ''Shalatnya salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwudhu.'' (HR Abu Hurairah).

''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki." (QS Al-Maidah (5): 6).

Eksistensi wudhu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan seorang Muslim, karena dalam wudhu Allah SWT memberikan pesan moral yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Membasuh kepala, misalnya, ditujukan agar kita membersihkan kepala atau otak kita dari segala pikiran kotor dan menyesatkan.

Membasuh kaki dan tangan ditujukan agar kita tidak menggunakan tangan dan kaki ini untuk mengambil hak orang lain, menginjak martabat orang lain. Berkumur-kumur, membasuh wajah, dan mengusap telinga, ditujukan agar kita menggunakan mulut untuk menyebarkan perdamaian dan kasih sayang, menggunakan mata untuk melihat nilai-nilai kebenaran, dan menggunakan telinga untuk mendengar nilai kebaikan.

Kita diperintahkankan berwudhu minimal lima kali dalam sehari, yaitu untuk menjalankan shalat lima waktu. Meski demikian, kita dianjurkan berwudhu tidak hanya ketika hendak mendirikan shalat, namun juga ketika hendak melakukan ibadah atau amalan lainnya, misalnya ketika membaca Alquran, mengikuti pelajaran, pengajian, dan memasuki masjid. Bahkan ketika kita hendak makan pun dianjurkan untuk berwudhu. ''Keberkahan makanan adalah dengan wudhu sebelum dan sesudahnya.'' (HR Abu Dawud).

Banyak keutamaan wudhu yang dijelaskan Rasulullah SAW. Antara lain sebagaimana diriwayatkan Thabrani dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Jika seorang hamba menjaga shalatnya, menyempurnakan wudhunya, rukuknya, sujudnya, dan bacaannya, maka shalat akan berkata kepadanya, 'Semoga Allah SWT menjagamu sebagaimana kamu menjagaku', dia naik dengannya ke langit dan memiliki cahaya hingga sampai kepada Allah SWT dan shalat memberi syafaat kepadanya.''

Berwudhu merupakan hal yang mudah dilakukan, namun perlu keistiqamahan dalam implementasinya. Seorang hamba yang banyak berwudhu akan mudah dikenali Rasulullah SAW di hari kiamat nanti karena memiliki ciri khas tersendiri. ''Muka dan tangan kalian nanti di hari kiamat berkilauan bekas dari berwudhu.'' (HR Muslim)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More