Oleh Rahmadi M. Ali
Sebuah gerakan mahasiswa tidak
akan lahir dalam situasi vakum. Dinamisasi merupakan syarat yang tak bisa
dihindarkan ketika mahasiswa menuntut kembali peran politiknya dalam interaksi
politik nasional. Relevansi mempertanyakan peran mahasiswa Indonesia memang
tepat pada waktunya, saat depolitisasi hampir mencapai titik jenuh. Situasi
yang berubah ditandai menaiknya tuntutan demokratisasi dan hak-hak asasi
manusia mempercepat pergeseran-pergeseran kekuasaan di tingkat elit serta
mempertinggi kesadaran rakyat pada umumnya tentang what's going on in this
country.
Titik jenuh depolitisasi kampus
memang harus terjadi. Lebih dari sepuluh tahun mahasiswa berada dalam penjara
ketidakterlibatan politik yang menyebabkan putusnya akar gerakan mahasiswa
sebelum nya. Keadaan ini merupakan konsekuensi logis dari kekalahan-kekalahan
beruntun gerakan mahasiswa sejak 1970-an.
Bermula dari gerakan moral menuju
gerakan politik, gerakan mahasiswa 1970-an ditunggangi pertarungan elit.
Gerakan mahasiswa1966 yang telah menjadi mitos gerakan mahasiswa Indonesia
hingga kini dianggap berhasil memenangkan pertarungan, yang sebenarnya telah
didisain oleh Angkatan Darat. Sebagai ujung tombak kemenangan, demikian
Angkatan 1966 sering diidentifikasi, mereka telah masuk dalam grand design elit
yang menang. Akibatnya ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru masuk dalam
pentaspolitik Indonesia, tidak ada alternatif disain yang ditawarkan gerakan
mahasiswa, suatu bukti bahwa mahasiswa hanya menjadi alat dan mediatorpeople's
power. Ketika kemenangan tiba, mahasiswa disingkirkan dan berusaha direduksi
kekuatan politiknya. Hanya saja, hal yang tak bisa dipungkiri dari Angkatan 1966
adalah kemenangannya memilih partner politik yang kuat, yang tidak berhasil
pada 1974 dan seterusnya.
Puing-puing gerakan mahasiswa
yang ditinggalkan atas kekalahan gerakan mahasiswa 1978 menjadi klimaks
legitimasi pemerintah untuk memberangus bibit-bibit baru gerakan mahasiswa.
Putuslah sudah perjuangan politik mahasiswa secara nasional yang membawa
isu-isu substansial mengenai strategi pembangunan dan persoalan negara secara
makro.
Angkatan 1980-an mencoba
menyambung getaran-getaran yang masih tersisa dari kehancuran gerakan mahasiswa
itu. Upaya-upaya sistematis dari pemerintah untuk mereduksi kekuatan politik
mahasiswa makin gencar dengan proyek Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK),
penempatan rektor sebagai penguasa tunggal di kampus, dan berbagai bentuk
campur tangan korporatis yang takhentinya memerintahkan mahasiswa untuk
menjadikan kampus sebagai tempat belajar. Sendi-sendi politik mahasiswa
dipatahkan dengan tesis pendidikan sebagai pemenuhan tekno struktur
pembangunan.
Tak terhindarkan lagi, peran
lembaga intra kampus yang dulu dimotori DewanMahasiswa (DM) hapus sudah.
Pereduksian politik ini berhasil dan akibatnya menyurut pula peran lembaga
ekstra universitas. Organisasi kemahasiswaan seperti HMI, GMNI, GMKI, PMKRI,
PMII semakin kurang laku di kalangan mahasiswa. Angkatan 1980-an mencoba
memajukan tesis baru berupa kelompok studi yang menurut mereka sebagai warming
up menuju proses yang akhirnya memunculkan situasi anomik. Mereka lebih memilih
menunggu momentum ketimbang menciptakan momentum, sehingga dalam proses
sejarahnya yang tidak ditunjang kaderisasi, kelompok studi-kelompok studi yang
semula menjamur akhirnya lenyap perlahan-lahan. Aktor-aktornya menjadi elit
individual dan jauh dari basis massa. Di sisi lain kelompok demokrasi jalanan
atau parlemen jalanan memuntahkan isu-isu populis lokal dan berharap suatu saat
isu-isu lokal itu akan menjadi isu nasional. Tetapi demokrasi jalanan inipun
tidak kuatstaminanya. Sedangkan LSM cenderung lebih akomodatif terhadap
kegiatan aksi dan refleksi, tetapi peran mahasiswa di lembaga ini relatif
terbatas dibanding peran mantan-mantan aktivis.
Ada beberapa
kekurangan-kekurangan Angkatan 1980-an. Pertama, ketiadaan kaderisasi. Kelompok
studi maupun demokrasi jalanan dimotori oleh orang yangitu-itu juga. Kedua,
ketiadaan basis massa. Situasi massa memang tidak mendukung, proyek
depolitisasi berhasil, tindakan represif mengancam setiapgerakan mahasiswa yang
membawa isu-isu substansial. Ketiga, disakumulasi kekuatan mahasiswa. Menyadari
pereduksian politik yang berakibat posisimahasiswa berada di jalur peripheral,
pinggiran, mestinya kekuatan-kekuatansporadis mahasiswa melakukan akumulasi,
saling bergandeng tangan. Tetapiyang terjadi adalah saling menuduh dan saling
menghakimi antara kelompok studi dan demokrasi jalanan. Bahkan sesama demokrasi
jalanan pun terjadi kleim-mengkleim tentang sebuah move. Ada semacam arogansi,
sayangnya arogansi ini lahir dari kaum pinggiran yang makin dimarjinalisasi
sehingga kekuatan gerakan mahasiswa 1980-an mengalami disakumulasi kekuatan,
power disaccumulation. Bisa dibayangkan jika sebuah kelompok marjinal yang
makinmarjinal, ingin "menggoyang" center yang makin menguat. Hasilnya
adalah kegagalan Angkatan 1980-an. Angkatan Baru
Membangun sebuah gerakan mahasiswa baru, gerakan mahasiswa 1990-an, bukan hal mudah. Puing-puing gerakan mahasiswa sebelumnya masih membayang-bayangi. Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa. Bahkan istilah gerakan mahasiswa1990-an adalah nama yang mendahului sejarah. Seringkali angka-angka 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978, lahir setelah terjadi, post factum. Angka-angka itu pun erat kaitannya dengan sebuah momentum. Bisakah gerakan mahasiswa 1990-an menciptakan momentum ketimbang menunggu momentum, karena memang momentum tidak akan datang dari langit. Kare nanya agenda gerakan mahasiswa 1990-an haruslah menghela sejarah, bukan menunggu masa krisis maupun momentum yang dihela oleh elit-elit politik yang bertikai.
Membangun sebuah gerakan mahasiswa baru, gerakan mahasiswa 1990-an, bukan hal mudah. Puing-puing gerakan mahasiswa sebelumnya masih membayang-bayangi. Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa. Bahkan istilah gerakan mahasiswa1990-an adalah nama yang mendahului sejarah. Seringkali angka-angka 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978, lahir setelah terjadi, post factum. Angka-angka itu pun erat kaitannya dengan sebuah momentum. Bisakah gerakan mahasiswa 1990-an menciptakan momentum ketimbang menunggu momentum, karena memang momentum tidak akan datang dari langit. Kare nanya agenda gerakan mahasiswa 1990-an haruslah menghela sejarah, bukan menunggu masa krisis maupun momentum yang dihela oleh elit-elit politik yang bertikai.
Pesimisme kemungkinan terbangunnya
suatu kekuatan baru mahasiswa memang ada. Pertama, aksi-aksi mahasiswa sekarang
hanya merupakan bentuk gagah-gagahan dan "menapaktilas" Angkatan
1966. Aksi-aksi itu masih dilingkupi romantisme Angkatan 1966 yang ikut
mendongkel Orde Lama. Kedua, aksi-aksi mahasiswasekarang kurang dibekali
landasan konsepsional yang matang serta peta politik, ekonomi, yang akurat. Hal
ini merupakan dampak NKK yang mengisolasikan mahasiswa dari politik dan
persoalan kemasyarakatan. Ketiga,aksi-aksi lebih banyak mengandalkan liputan
media massa ketimbang berdiri otonom. Keempat, aksi-aksi bersifat sporadis,
temporer dan reaktif, tidakmembangun isu dari bawah. Sementara isu yang
dimunculkan juga bersifatsesaat tidak perubahan mendasar. Kelima, dampak NKK
masih terasa dan proyekdepolitisasi kampus masih diterapkan. Kebanyakan
mahasiswa menjadi asing terhadap persoalan-persoalan bangsanya sendiri. Keenam,
gerakan mahasiswa sendiri terpecah belah dalam banyak faksi mewakili
kepentingan yang bervariasi dengan strategi gerakan yang juga beragam. Ketujuh,
ormas kepemudaan dan ormas kemahasiswaan kurang berperan dan semakin tidak
kritis terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sehingga, kehadiran
aksi-aksi sulit diharapkan menjadi pressure group bagi pemerintah.
Di samping pesimisme itu ada
faktor eksternal dan internal yang mendukung optimisme. Faktor eksternal adalah
faktor di luar dunia kemahasiswaan atau gerakan mahasiswa yaitu perubahan cuaca
politik. Cuaca politik di era1990-an mengalami kemajuan terutama dengan dibukanya
keran keterbukaan oleh pemerintah, meskipun belum pada tahap yang diharapkan.
Kuatnya isu demokrasi dan hak asasi manusia di dunia internasional telah
membawa perhatian pemerintah untuk lebih arif menyelesaikan persoalan-persoalan
pemerintah dengan rakyat seperti kasus tanah, upah buruh, monopoli, dan
seterusnya. Terjadi pula perubahan power block, blok kekuasaan, dalam
konstalasi pemerintahan Orde Baru. Arief Budiman menyebut ini sebagai
realiansi, dari Soeharto-Katolik-CSIS-Ali Murtopo ke Soeharto-Islam-ICMI-Habibie
yang dipicuUU Peradilan Agama tahun 1989. Berturut-turut Islam, yang selama dua
dekade Orde Baru ditempatkan sebagai ekstrem kanan, mendapat akomodasi politik
seperti dengan kehadiran ICMI, CIDES, BMI, penghapusan pelarangan jilbab, penghapusan
SDSB, dan seterusnya. Meskipun akomodasi politik Islam ini masih bersifat
artifisial, namun ia telah membawa kegairahan baru di kalangan umat Islam yang
selama ini marjinal dalam politik Indonesia. Hal ini merupakan harapan baru
bagi upaya demokratisasi di Indonesia. Tanpa keterlibatan mayoritas, tidak
mungkin tercipta demokrasi di Indonesia. Karenanya Islam di Indonesia harus
mendorong demokratisasi. Ini merupakan suatu revolution from above yang menjadi
blessing in disguise bagi demokratisasi di Indonesia.
Faktor internal adalah faktor
dalam dunia kemahasiswaan sendiri. Perlahan-lahan, kesadaran politik mahasiswa
mulai kembali meskipun belum pada derajat memahami politik itu. Kepedulian
terhadap nasib rakyat yang tertindas masih hadir dan makin hidup. Hal ini
tecermin dalam banyak kasus seperti pembelaan terhadap kasus tanah, upah buruh,
dan seterusnya. Meskipun pembelaan itu masih dalam kerangka "reaktif"
namun masih ada harapan. Contoh yang menarik adalah kasus SDSB tahun 1993.
Angkatan 1990-an berhasil menggelindingkan bola salju SDSB sehingga isu lokal
populis ini dengan akseleratif menjadi isu nasional yang tak terelakkan dan
akumulatif.Menghadapi itu, pemerintah mau tak mau harus mencabut SDSB. Meskipun
kemenangan ini kecil, bahkan pemerintah dan ABRI mendapat citra baik
dalampencabutan SDSB ini, tetapi tak bisa disangkal bahwa pupusnya SDSB telah
menjadi platform dan legitimasi bahwa gerakan mahasiswa masih ada, dan
demonstrasi sebagai jalan akhir ketika dialog macet, masih efektif digunakan. Ini
merupakan stepping stone bagi gerakan mahasiswa 1990-an.
Kasus SDSB merupakan fenomena
menarik melihat gerakan mahasiswa 1990-an. Sebagai sebuah batu loncatan,
hapusnya SDSB harus dilihat secara optimistik bahwa dalam isu-isu tertentu akan
terjadi konsolidasi yang begitu kuat menghadapi policy pemerintah yang tidak
dikehendaki rakyat. Argumentasi relijius dan ekonomis ternyata cukup kuat untuk
mendongkel sebuah kebijakan.Terjadilah the unity of action dari berbagai
kelompok mahasiswa mulai dari kelompok mahasiswa yang bernafaskan kelompok
studi, parlemen jalanan atau demokrasi jalanan, aktivis lembaga mahasiswa SMPT,
aktivis ekstra kampus,OKP berbasis mahasiswa dan kelompok mahasiswa relijius.
Bahkan dalam perkembangannya, ketika aksi-aksi anti SDSB telah meluas,
pihak-pihak tertentu yang semula tidak concern soal SDSB, mungkin juga
mendukung SDSB,secara mengejutkan berusaha ikut membonceng dengan niatan
berbeda. Keberhasilan gerakan mahasiswa dalam isu SDSB harus diakui tertolong
oleh power block politik yang ada. Pemerintah tidak mau berhadapan dengan
Islam, hanya untuk mempertahankan SDSB.
Fenomena Baru Gerakan
Mahasiswa
Hadirnya argumentasi relijius
sebenarnya merupakan salah satu fenomena baru1990-an. Paling tidak ada tiga
fenomena baru gerakan mahasiswa 1990-an yang sejauh ini dapat dicatat yaitu
fenomena relijius, kesadaran internasional dan kecenderungan konvergensi
aksi-refleksi.
Fenomena relijius yang ditandai menguatnya unsur relijiusitas dalam aktivitas kemahasiswaan sebagai reaksi atas pencepatan sekularisme ke arahstagnan dan arus umum revival of faith di masyarakat telah melahirkan sebuahkelompok baru: kelompok mahasiswa relijius. Faktor lain yang memunculkan kelompok ini adalah ketidakmampuan organisasi-organisasi ekstra kampus menjawab tantangan zaman karena memang telah surut akibat depolitisasi kampus. Kalau dulu HMI, PMKRI, GMNI, PMII dan organisasi sejenis memiliki basis di kampus, maka sekarang akar organisasi ekstra itu tercerabut dikampus dan makin tidak populer. Berbeda dengan kelompok studi atau demokrasijalanan di tahun 1980-an maka kelompok mahasiswa relijius menempatkan tema-tema politik setelah tema-tema ideologis sehingga mereka tidak secara eksplisit menyatakan sikap terhadap perkembangan sosial politik diIndonesia. Bagi mereka, proses terpenting adalah pembinaan diri terus-menerus sehingga dalam proses itu mereka benar-benar survive lalu keluar sebagai manusia yang mampu menjawab tantangan dunia sekelilingnya.Dalam kalimat yang lebih pendek sebut saja tarbiyatul qoblal jama'ah, pendidikan yang terus-menerus sebelum membentuk society. Jadi, mereka mempunyai kesadaran politik tetapi lebih memilih membina diri pribadi mereka dahulu ketimbang terlibat dalam isu-isu politik. Hanya dalam isu-isu tertentu saja mereka terlibat.
Fenomena relijius yang ditandai menguatnya unsur relijiusitas dalam aktivitas kemahasiswaan sebagai reaksi atas pencepatan sekularisme ke arahstagnan dan arus umum revival of faith di masyarakat telah melahirkan sebuahkelompok baru: kelompok mahasiswa relijius. Faktor lain yang memunculkan kelompok ini adalah ketidakmampuan organisasi-organisasi ekstra kampus menjawab tantangan zaman karena memang telah surut akibat depolitisasi kampus. Kalau dulu HMI, PMKRI, GMNI, PMII dan organisasi sejenis memiliki basis di kampus, maka sekarang akar organisasi ekstra itu tercerabut dikampus dan makin tidak populer. Berbeda dengan kelompok studi atau demokrasijalanan di tahun 1980-an maka kelompok mahasiswa relijius menempatkan tema-tema politik setelah tema-tema ideologis sehingga mereka tidak secara eksplisit menyatakan sikap terhadap perkembangan sosial politik diIndonesia. Bagi mereka, proses terpenting adalah pembinaan diri terus-menerus sehingga dalam proses itu mereka benar-benar survive lalu keluar sebagai manusia yang mampu menjawab tantangan dunia sekelilingnya.Dalam kalimat yang lebih pendek sebut saja tarbiyatul qoblal jama'ah, pendidikan yang terus-menerus sebelum membentuk society. Jadi, mereka mempunyai kesadaran politik tetapi lebih memilih membina diri pribadi mereka dahulu ketimbang terlibat dalam isu-isu politik. Hanya dalam isu-isu tertentu saja mereka terlibat.
Bagi kelompok mahasiswa
relijius persoalannya adalah tidak kondusifnya lingkungan bagi penerapan
keberagamaan mereka, termasuk tidak akomodatifnya sistem yang ada. Untuk itu
perlu dibentuk suatu masyarakat yang lebihagamis baik secara keimanan maupun
budi pekerti, tingkah laku, sehingga terjadi kesatuan penerapan antara iman,
amal dan ilmu. Pengertian keberagamaan yang umum didekonstruksi sedemikian rupa
dengan semangat purifikasi. Sebagai konsekuensi pembinaan ke dalam, terjadi
pembatasan yang agak transparan antara kelompok mahasiswa relijius dengan
kelompok-kelompokmahasiswa pada umumnya. Pada derajat tertentu pembatasan itu
mengarah padaekslusivisme sehingga mendukung pengkotakan mereka sebagai
kaum"fundamentalis." Namun tentu saja derajat itu berbeda-beda. Dalam
prosesberikutnya bahkan sebagian kelompok mahasiswa relijius lebih tanggap
terhadap perubahan tanpa emosional.
Basis kelompok mahasiswa
relijius termasuk yang paling kuat di antara kelompok-kelompok mahasiswa
lainnya. Mereka hadir di jantung-jantungfakultas universitas baik negeri maupun
swasta dan mempunyai network yang terbina rapi. Komitmen mereka yang kuat atas
perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan tampaknya akan mempunyai peran
penting di tahun-tahun mendatang. Apalagi jika komitmen itu menyatu dengan
nafas zaman ini yang diidentifikasi sebagai masa tuntutan demokratisasi dan
pemenuhan hak-hakasasi manusia.
Sementara fenomena kesadaran internasional lahir karena globalisasi informasi yang cepat, menguatnya diskursus demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan kesadaran perlunya menggandeng kekuatan internasional dalam pemenuhan demokrasi dan hak-hak azasi manusia itu. Selain itu mungkin pula karena apatisme terhadap perjuangan isu lokal yang hampir selalu gagal. Hal menarik dari kesadaran internasional ini adalah kaitannya dengan kesadaranrelijius. Munculnya advokasi-advokasi masalah Bosnia-Herzegovina-Serbia, Perang Teluk, Irak-Amerika, PLO-Israel, Aljazair dan Somalia, tidak lepasdari persoalan solidaritas agama.
Sedangkan kecenderungan konvergensi aksi-refleksi tampak dalamkelompok-kelompok mahasiswa yang ada. Pada dasarnya intelektualitas atau kecendekiawanan tetap harus menjadi pegangan. Masalah cara, apakah dialog, lobi, mimbar bebas atau unjuk rasa bukanlah persoalan intelektualitas. Intelektualitas itu ditentukan substansi yang disampaikan dikaitkan dengan argumentasi yang berdasar kuat dan mempunyai konsep yang jelas.
Sementara fenomena kesadaran internasional lahir karena globalisasi informasi yang cepat, menguatnya diskursus demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan kesadaran perlunya menggandeng kekuatan internasional dalam pemenuhan demokrasi dan hak-hak azasi manusia itu. Selain itu mungkin pula karena apatisme terhadap perjuangan isu lokal yang hampir selalu gagal. Hal menarik dari kesadaran internasional ini adalah kaitannya dengan kesadaranrelijius. Munculnya advokasi-advokasi masalah Bosnia-Herzegovina-Serbia, Perang Teluk, Irak-Amerika, PLO-Israel, Aljazair dan Somalia, tidak lepasdari persoalan solidaritas agama.
Sedangkan kecenderungan konvergensi aksi-refleksi tampak dalamkelompok-kelompok mahasiswa yang ada. Pada dasarnya intelektualitas atau kecendekiawanan tetap harus menjadi pegangan. Masalah cara, apakah dialog, lobi, mimbar bebas atau unjuk rasa bukanlah persoalan intelektualitas. Intelektualitas itu ditentukan substansi yang disampaikan dikaitkan dengan argumentasi yang berdasar kuat dan mempunyai konsep yang jelas.
Pada Angkatan 1980-an,
berbenturannya kelompok studi dan demokrasi jalanan selain perbedaan ideologi,
juga perbedaan persepsi pendekatan gerakan.Kelompok studi dan LSM cenderung
tidak apriori terhadap pemerintah dengan memajukan persoalan-persoalan yang
bersifat transformatif dan korektif seperti pengembangan isu demokrasi dan
hak-hak asasi manusia. Sedangkan demokrasi jalanan memilih pembatasan yang
tegas, non kooperatif dengan pemerintah dalam bentuk komite-komite aksi yang
pragmatis berdasar isu lokaltertentu dengan harapan melibatkan gerakan rakyat.
Senat Mahasiswa dan
Dewan Mahasiswa
Lembaga kemahasiswaan SMPT
(Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) merupakan bagian penting dari fenomena
1990-an. Berlakunya SMPT ini berdasarkan SK Mendikbud Fuad Hassan No.
0457/U/1990 sekaligus mengakhiri NKK/BKK. Walau demikian dampak buruk NKK/BKK
dalam aktivitas kemahasiswaan masih tampakjelas hingga kini. Ketika itu Fuad
menegaskan bahwa pembentukan senat pada fakultas dan universitas tidak ada
kaitannya dengan DM (Dewan Mahasiswa)yang telah diberangus.
Semula beberapa perguruan
tinggi menolak konsep SMPT ini termasuk ForumKomunikasi SM-BPM Universitas
Indonesia. Berikut adalah sejumlah alasanpenolakan terhadap SMPT. Pertama, SMPT
tidak mengakar ke mahasiswa umumnya,tidak populis. Kedua, hubungan SMPT dengan
lembaga-lembaga mahasiswa lainseperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hanya
bersifat koordinatif sehingga suara tidak menyatu, mudah terpecah belah.
Ketiga, adanya peluang menjadikan SMPT sebagai wadah permainan elit mahasiswa
belaka. Keempat, tidak diakuinya fungsi legislatif mahasiswa yang seharusnya
menjalankan fungsi kontrolterhadap eksekutif. Kelima, SMPT tidak mandiri, tidak
otonom, dan tidak independen karena berada di bawah kekuasaan rektorat yang
berhak ikut campurdalam persoalan SMPT. SMPT dianggap sebagai upaya kooptasi
birokrat kampus. Sebagian lagi menilai SMPT adalah perpanjangan NKK/BKK yang
berubah bentuk. Keenam, ada pula yang menilai SMPT harus ditolak karena
pemberian pihaklain, bukan dari mahasiswa untuk mahasiswa.
Sejumlah alasan tersebut telah
diungkapkan pada awal tahun 1990-an. Darisinilah aktivis mahasiswa intrakampus
terbelah kembali. Namun, sebagianbesar kampus-kampus di Indonesia akhirnya
menerima SMPT dengan beberapacatatan. Alasan utama penerimaan SMPT itu adalah
adanya celah dalam pasal 16ayat 2 dari SK Mendikbud yang menyatakan bahwa
petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan
tinggi. Dengan modal ini, aturan main SMPT ditentukan oleh institusi perguruan
tinggi masing-masing. Aktivis intrakampus akhirnya bermain diantara celah-celah
yang hasilnyadapat dilihat dengan keberadaan SMPT dewasa ini. SMPT-SMPT itu
menjadiberagam strukturnya. SM UGM, misalnya, mempunyai kongres yang membawahi
SMPT, UKM dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara sejajar. Ada mekanisme
legislatif-eksekutif. SM UI mengambil celah melalui pemisahan tugas antara Ketua
Umum SMPT, yang bertindak sebagai legislatif, dan Ketua Harian SMPT,sebagai
eksekutif. Pola pemilihan di SM UI mengalami berbagai perubahan.Dalam usianya
yang masih muda itu, tampaklah SMPT mulai kelihatan berperan dalam berbagai isu
lokal maupun nasional. SM UGM yang memajukan soal lembaga kepresidenan, SM UI
yang mengusulkan rancangan GBHN adalah contoh gerakan yang strategis dilakukan
SMPT pada awal berdirinya. SMPT-SMPT jugamengedepankan persoalan korupsi dan
kolusi, mengajukan proposal perlunyapembatasan monopoli dan seterusnya. Selain
itu, sebagian pimpinan SMPTterlibat dalam pengorganisasian komite-komite
mengetengahkan isu-isu tertentu yang tidak bisa membawa nama lembaga. Termasuk
dalam kasus SDSB, pimpinan-pimpinan SMPT aktif memimpin massa mahasiswa.
Perlu diakui, ada beberapa
kesulitan untuk membawa nama SMPT dalam melakukan gerakan. Untuk melakukan
dialog, mimbar bebas di kampus, atau membuat pernyataan tampaknya masih
memungkinkan dilakukan. Tetapi melakukan unjuk rasa dengan membawa SMPT agaknya
masih riskan. Inilah yang dialami SM UIbeberapa waktu lalu ketika
berdemonstrasi SDSB membawa nama SMPT. Pihakrektorat dengan tegas menyatakan
tindakan itu bersalah karena tidak ada izin pimpinan untuk membawa nama
almamater, meskipun yang dibawa adalah nama SM, bukan universitas secara
keseluruhan. Untuk unjuk rasa membawa nama almamater harus ada izin, dan tentu
saja tidak akan mendapat izin. SM UIakhirnya mendapat peringatan terakhir dari
rektorat secara sepihak. Dalam argumentasi rektorat, cara-cara dan prosedur
birokrasi lebih pentingketimbang substansi yang dibawakan. Sehingga bagi SMPT,
perjuangan demokratisasi kampus agaknya akan mengalami masa-masa yang berat.
Hal ini bisa dipahami karena membawa nama lembaga formal melawan lembaga
pemerintah,misalnya, akan meminta konsekuensi politis tertentu. Bagi pemerintah
iniadalah trauma dewan mahasiswa di tahun 1970-an. Gerakan yang lahir dari
tubuh institusi formal, organisasi intra kampus, jauh lebih berbahaya ketimbang
komite-komite aksi yang insidental dan sporadis.
Pada akhir tahun 1994 setelah
Kongres IV mahasiswa UGM muncul DewanMahasiswa (DM) yang dianggap sebagai
alternatif SMPT. Nama "DM" dipinjam dari Dewan Mahasiswa yang ada
pada 1970-an, yang dibekukan tahun 1978. Upaya sosialisasi DM dilakukan di
berbagai kota agar terwujud DM-DM di kota lain.Aktivis DM mengemukakan
gagasan-gagasan dan kritik-kritik tajam terhadap SMPT yang sebagian besar teah
disadari oleh aktivis SMPT ketika menerima SMPT. DM mendefinisikan dirinya
sebagai antitesa terhadap kelemahan-kelemahan SMPT. Pertama, DM mengkleim
mempunyai basis massa dan memang dikehendaki oleh mahasiswa, tidak seperti SMPT
yang elitis dan menggantung ke atas. Kedua, lembaga DM mempunyai otonomi penuh,
independensi yang tidak bisa dicampuri rektorat, tidak seperti SMPT yang
bertanggungjawab pada rektorat. Hubungan DM bersifat sejajar dengan rektorat.
Dan seterusnya.
Kepedulian masalah otonomi,
independensi, dan berbagai kelemahan SMPT itusebenarnya juga merupakan
kepedulian aktivis-aktivis SMPT. Di kalangan SMPT, perjuangan untuk memperbaiki
diri yang berhubungan dengan kelemahan itutetap ada. Persoalannya apakah DM menjadi
alternatif? Saya justru melihatkehadiran DM dalam situasi sekarang malah
memecah belah mahasiswa dan tidakstrate gis. DM harus berhadapan dengan
aktivis-aktivis SMPT yang sebetulnya mempunyai concern yang sama. Polarisasi
persoalan lembaga akhirnya mengarah pada perbedaan ideologi perjuangan. Harus
diakui, mayoritas aktivis SMPT di Indonesia adalah aktivis mahasiswa Islam.
Lucunya, aktivis DM sebelumnya juga duduk di SMPT dan menerima SMPT itu. DM
ternyata tidak diterima mayoritas mahasiswa. Karenanya DM juga menjadi lembaga
elitis yang menjadi tempat bermain elit-elit aktivisnya.
Beberapa gagasan DM yang patut
didukung adalah semangatnya untuk melakukanperubahan. Tetapi, menurut saya,
koreksi terhadap SK Mendikbud No.0457/U/1990 seharusnya dilakukan oleh SMPT
sebagai badan yang telah diakui.Agenda yang perlu dilakukan SMPT adalah
demokratisasi kampus antara laindalam bentuk sharing administration. Segala
keputusan universitas yangmenyangkut kepentingan mahasiswa harus
mengikutsertakan sikap dan pandanganmahasiswa. Karena mahasiswa adalah bagian
paling vital dalam universitas maka mahasiswa perlu diminta pendapatnya karena
itu adalah hak mahasiswa. Mahasiswa juga berhak ikut menentukan dekan dan
rektor, biaya SPP,pengelolaan kampus seperti asrama mahasiswa, dan seterusnya.
Kesejahteraan mahasiswa adalah kunci program SMPT selain pengabdian masyarakat.
Menaikkan Posisi Tawar
Dalam posisi tawar mahasiswa
yang lemah dewasa ini, belum saatnya menentukan partner politik atau memutuskan
pilihan-pilihan grand design politik tertentu. Gerakan mahasiswa sekarang belum
lagi menjadi agent of socialchange, sebaliknya menjadi gerakan peripherial,
pinggiran. Agenda yang diperlukan adalah penyatuan kelompok-kelompok pinggiran
mahasiswa dalamsuatu konsolidasi secara nasional.Hal ini dibutuhkan untuk
pengembalian posisi tawar yang menyurut. Karenanya, dalam posisi tawar yang
lemah, agendagerakan mahasiswa mesti berpihak memilih misi transformatif dan
misi korektif. Misi transformatif menekankan pada gerakan penyadaran sosial
politik dan penularan gagasan-gagasan demokrasi dan hak-hak azasi manusia.
Sedangkan misi korektif menitikberatkan pada koreksi berbagai kebijakan atau
sikap dan tindakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak.
Diangkatnya isu-isu lokal
populis dengan harapan dapat menjadi isu nasional nampaknya masih bisa
diandalkan. Pilihan isu-isu mikro memang sesuai dengankondisi gerakan mahasiswa
yang lemah. Dalam tahap ini diharapkan terjadi konsolidasi secara bertahap
untuk mengembalikan nafas gerakan mahasiswa yangtelah surut akibat depolitisasi
kampus. Untuk merajut jaringan secara nasional itu paling tidak dibutuhkan
beberapa prinsip. Pertama, perlunya semangat dialog tanpa apriori antarkelompok
mahasiswa. Melalui dialog tanpa apriori dapat diketahui kekuatan dan kelemahan
masing-masing pihak serta menghindari perasaan curiga atau rasa permusuhan
akibat berbedanya pendekatan gerakan. Kedua, kedewasaan berpolitik antaraktivis
yang berbeda ideologi dan pendekatan gerakan. Ketiga, konsolidasi berjalan
bertahap dan berkesinambungan melalui isu-isu tertentu dengan target
"jangka panjang," sehingga terhindar situasi gerakan yang prematur.
0 comments:
Post a Comment