widget

Anda ingin membuat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini

Monday, November 12, 2012

Revitalisasi Pelayanan Publik

Oleh Rudi Ismawan


PELAYANAN publik di Indonesia saat ini masih sangat rendah tingkat partisipasinya. Pelayanan publik bukanlah suatu wacana yang baru, namun fakta menunjukkan bahwa terdapat masalah penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu: Pertama, meningkatnya indikasi-indikasi diskriminasi pelayanan dalam penyelenggaraan. Hal ini terjadi karena kuatnya faktor afiliasi politik, jaringan etnik, oligarkis, dan agama sehingga amat dipengaruhi hubungan keseimbangan pelayanan. Persoalan semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.

Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan,dan; Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tadi.

 Lingkaran birokrasi
Optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan, mengingat pembaruan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi berbelit-belit dan rumit.

Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.

Sebenarnya perdebatan mengenai optimalisasi pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan publik telah lama berkembang dalam studi administrasi publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi di kalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap, dan akuntabel. Gagasan revitalisasi public government yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik.

Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di negeri Indonesia adalah yang terburuk di antara negara-negara maju. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota dan negara bagian yang dibanggakan pailit dengan defisit multi-milyaran dolar sehingga ribuan pekerja diberhentikan dari kerja.

 Semakin penting
Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas tanpa payung hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak Negara berkembang pada masa lalu. Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.

Menguatnya embusan globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan sosial bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus. Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.

Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam Negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Peran masyarakat serta pentingnya lembaga pengawas independen terhadap pelayanan publik saat ini menunjukan masih begitu kuatnya dominasi kekuasaan khususnya birokrasi, di mana dalam praktiknya, peyelenggara negara sering menunjukkan kebiasaan yang tidak baik. Posisi seperti ini cenderung menjadikan penyelenggara Negara tidak melayani tetapi minta dilayani, rakyat menjadi menjadi korban, menjadi abdi penyelenggara Negara, serta tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pemberian pelayanan kepada masyarakat. Keseluruhan factor ini terjadi dikarenakan kurang optimalnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas yang ada

 Lembaga Ombudsman
Dengan lahirnya UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Lembaga Ombudsman RI yang merupakan lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayan publik baik yang diselenggarakan oleh peyelenggara Negara dan pemerintahaan termasuk yang diselenggarakanoleh BUMN atau BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN atau APBD.

Diharapkan perbaikan pelayanan publik yang baik dapat segera dibenahi, agar hak dasar bagi setiap warga Negara dalam hal mendapatkan pelayanan atas barang, jasa dan administratif sebagaimana yang diamanahkan UU dapat terwujud, sehingga tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terhindar dari praktik KKN serta mampu menjamin kesejahteraan dan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.

* Rudi Ismawan, Mantan Ketua Umum IMM Aceh, dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Email: roedie_80@yahoo.co.id

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More