widget

Anda ingin membuat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini

Friday, November 9, 2012

Membangun Perpustakaan Ramah Anak

Oleh Muhammad Irfan Redha

MARI belajar dari Negara tetangga kita, Malaysia. Mereka sengaja berguru ke Indonesia untuk memperbaiki kualitas guru mereka, namun sekarang marilah kita lihat bagaimana majunya Negara tetangga kita itu? Mari kita belajar lagi dari Jepang. Saat Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur oleh bom atom yang dijatuhkan AS dan sekutunya pada 1945, yang ditanya oleh sang Kaisar, bukan jumlah pejabat, maupun jumlah harta yang masih bisa diselamatkan. Tetapi, berapa jumlah guru yang masih hidup. Pertanyaan yang konyol bisa kita katakan. Tetapi dengan kuantitas guru dengan kualitas yang ia miliki dapat kembali membangun Negara tersebut.

Kini, marilah kita lihat keadaan daerah kita yang kita cintai ini. Kualitas guru yang berada di Aceh berada di peringkat 28 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini merupakan prestasi yang sangat buruk. Dengan kekayaan alam yang berlimpah dan kesuburan tanah yang luar biasa, jika tidak dikelola oleh orang yang mempunyai kapasitas ilmu yang memadai, maka sumber kekayaan alam yang ada di Aceh ini akan menjadi lahan bagi orang lain.

Dalam hal ini tidak sepenuhnya kita menyalahkan guru, namun banyak faktor yang menyebabkan kualitas lulusan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain. Di antaranya adalah faktor minat baca masyarakat yang masih tergolong rendah. “Potensi bangsa Indonesia sangat tinggi secara kuantitas. Namun, fakta membuktikan bahwa kondisi minat baca di Indonesia berdasarkan temuan UNDP tahun 2010, Human Development Indeks, masih sangat rendah, berada di peringkat 112 dari 175 negara” (Andy F. Noya, Duta Baca 2011/Host acara Kick Andy di Metro TV).

Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%).

 Sangat memprihatinkan
Apa yang menyebabkan minat membaca masyarakat Indonesia menurun selama berpuluh-puluh tahun? Bisa saja disebabkan oleh keadaan ekonomi yang belum memadai, sistem pendidikan yang berat namun tidak mengarah kepada kebiasaan membaca, dan yang sangat memprihatinkan adalah banyaknya tempat-tempat hiburan yang bisa mengalihkan perhatian orang untuk bermain dari pada membaca. Membaca dianggap suatu hal yang memberatkan, padahal membaca buku sama saja kita membuka jendela dunia.

Terdapat empat poin penting sumber permasalahan minat baca, yaitu sistem pendidikan, budaya masyarakat, ketersediaan buku, dan daya beli yang rendah. Keempat poin ini mengacu pada satu persoalan, yaitu perpustakaan. Dengan adanya perpustakaan, bagi masyarakat yang berekonomi rendah, tak perlu membeli buku dengan harga yang mahal, cukup meminjamnya dari perpustakaan secara gratis mereka dapat membaca dengan nyaman. Jadi peran perpustakaan sangat bermanfaat sekali dalam menggerakkan siswa-siswi dan masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang gemar membaca.

Dua kata kunci, perpustakaan dan anak-anak. Yang kita gabungkan menjadi perpustakaan yang ramah terhadap anak. Suatu investasi jangka panjang yang diciptakan untuk merubah masyarakat menjadi gemar membaca. Sebenarnya anak-anak dibangsa ini haus akan buku bacaan. Mereka sangat antusias dengan adanya perpustakaan keliling yang ada di daerah. Namun bagaimana dengan perpustakaan daerah maupun perpustakaan wilayah.

Semua itu hanya ditujukan kepada pelayanan umum dan tak sedikitpun menjadikan anak-anak sebagai prioritas utama. Kebiasaan anak-anak yang membaca dengan diucapkan secara langsung dijadikan sebagai pengganggu konsentrasi pengguna perpustakaan umum tersebut. Kita lihat saja Perpustakaan Wilayah di Lamnyong, Banda Aceh. Jika kita perhatikan secara seksama, anak-anak yang membaca di sana sangatlah sedikit, dikarenakan hanya mengganggu para pembaca yang lain. Padahal anak-anak sangat menginginkan membaca di tempat tersebut.

Dunia anak sangat identik dengan dunia bermain. Maka perlu adanya perpustakaan yang ramah terhadap anak-anak. Agar aktivitas membaca mereka tidak terganggu. Kita bisa belajar dari perpustakaan yang ramah anak yaitu Perpustakaan Anak Salman (PAS) di Bandung, Jawa Barat. selain tersedianya buku anak-anak di sana disediakan pula perlengkapan multimedia anak-anak. Dengan warna interior ruangan yang bernuansa cerah, dan berwarna-warni sehingga membuat anak-anak nyaman berada diruangan itu.

Di Surabaya, terdapat perpustakaan anak yang merupakan cabang dari Perpustakaan Wilayah Provinsi Jawa Timur, yang didirikan khusus untuk anak-anak, yang fasilitasnya meliputi ruang koleksi, ruang baca, ruang bermain, ruang mendongeng, ruang audiovisual, ruang komputer, konter sirkulasi, lobby dan fasilitas pendukung lainnya. Konsep yang digunakan dalam perancangan adalah ‘taman bermain’.

 Bagaimana Aceh?

Di Aceh belum kita jumpai perpustakaan yang berbasis anak-anak. Dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan setiap tahunnya, tentu bisa disisihkan sedikit untuk membangun perpustakaan anak, di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Dengan adanya sarana ini, diharapkan anak-anak akan gemar mengunjungi perpustakaan dan menjadikannya sebagai tempat favorit mereka. Dari membaca mereka juga akan terbiasa berdiskusi dengan teman tentang hal-hal yang terkait bacaaan mereka. Dengan begitu, anak-anak akan merasa terbiasa dan nyaman dengan suasana perpustakaan.

Tidak sekadar impian jika seluruh kenyamanan tersebut dapat dipenuhi, anak-anak akan lebih suka berkunjung ke perpustakaan daripada ke area permainan di Time Zone. Apalagi jika perpustakaan dijadikan sebagai jadwal kunjungan hari libur, sehingga anak-anak akan terbiasa melakukan studi literature. Menumbuhkan kebiasaan lebih mudah dilakukan sejak anak-anak. Kebiasaan untuk menjadikan buku sebagai gudang ilmu dan sumber informasi akan lebih mudah ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Jika saat ini budaya anak-anak membaca dilakukan, maka 5-10 tahun lagi target Indonesia membaca akan tercapai.

Jika anak-anak sudah gemar membaca, maka guru-guru yang berada di sekolah tidak lagi berkutat pada materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun akan lebih menekankan kepada pendidikan karakter setiap anak atau siswa. Ilmu itu memang penting tetapi yang terpenting ialah karakter yang dimiliki oleh setiap manusia itu. Dan sebenarnya karakter itulah yang digoreskan oleh setiap guru. Agar terciptanya rakyat indonesia yang makmur dan sentosa.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More