“Jihad yang paling utama adalah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Imam Ahmad).
Pemimpin,
walau sangat terhomat posisinya dalam masyarakat, tetap saja insan
biasa. Yaitu manusia yang tak terlepas dari berbagai kesilapan, yang tak
tertutup kemungkinan, disadari atau tidak, melakukan hal-hal yang
membuat suatu kaum terzalimi.
Kesilapan seperti ini tak
sepatutnya dibiarkan, lebih-lebih oleh orang-orang pandai atau para
penasehat. Apalagi kebijakan pemimpin seringkali berimbas luas dan lama
dalam masyarakat. Kalau kurang baik kebijakannya, maka luas dan lama
juga dampak keburukannya.
Namun demikian, menasehati pemimpin tak
wajar dilakukan serampangan. Islam memiliki etika yang tinggi.
Rasulullah mengajak untuk menasehati penguasa dengan cara
sembunyi-sembunyi dan langsung di hadapan penguasa. Sabdanya, “Siapa
saja yang ingin menasehati seorang penguasa, maka janganlah
menyampaikannya secara terang-terangan atau di depan orang umum. Tetapi
hendaknya dia memegang tangannya dan menyampaikannya secara sembunyi,
kalau diterima (nasehatnya), maka itulah (yang diharapkan); kalau tidak,
maka dia telah melaksanakan kewajibannya” (HR. Imam Ahmad).
Kesempatan
seperti ini tentunya jarang dimiliki orang banyak. Lazimnya di zaman
sekarang, para penasehat penguasa lah yang mendapat kesempatan dan akses
banyak untuk bertemu pemimpin. Dengan demikian, bila para penasehat
diam saja, maka mereka telah mengabaikan kewajibannya untuk membantu
pemimpin dalam mengurus kekuasaannya.
0 comments:
Post a Comment